Senin, 21 Oktober 2013

LEGENDA ASAL MULA NAMA AIR TIRIS

Legenda Asal Mula Nama Air Tiris


Dahulu, daerah Air Tiris (Ibu Kota Kecamatan
Kampar, Kabupaten Kampar-Riau) sekarang bernama Koto Pukatan.
Menurut cerita, di suatu kampung ada seorang pemuda yang tampan
memiliki kesaktian dan keberanian. Karena kehebatannya, pemuda yang
bernama Khotib tersebut sangat disegani oleh orang kampungnya. Ayah
Khotib adalah seorang guru agama Islam yang berasal dari Aceh. Beliau
termasuk salah seorang yang berjasa dalam mengembangkan agama di
daerah Limo Koto. Karena jasa dan kebaikannya,maka ia berjodoh
dengan seorang gadis asal daerah Koto Pukatan yang kemudian
melahirkan Khotib.
Dari kecil hingga dewasa Khotib dididik dengan ilmu agama. Orang
tua Khotib tidak melarang anaknya menuntut ilmu kebatinan selama tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Khotib juga menguasai
ilmu pemagar diri serta mahir dalam beladiri. Suatu hari Khotib mendapati
bahwa dirumahnya sudah tidak ada lauk untuk dimakan. Dilihatnya
neneknya termenung karena tidak ada lauk untuk dimasak. Khotib
kemudian pergi ke suatu tempat di desanya yang bernama Aiu Lului
(dalam bahasa Ocu disebut juga aiu tighi[1]), dimana terdapat banyak
ikan. Setelah beberapa lama mengamati lubuk dan lubang ikan di Ayiu
Lului, tiba-tiba Khotib melihat seekor ikan Tapa yang sangat besar.
Masyarakat Koto Pukatan telah mengenali ikan tersebut karena ekornya
yang buntung. Karena ukurannya yang besar, masyarakat menjadi takut
dan mengira ikan tersebut memangsa manusia. karena Khotib memang
seorang yang pemberani dan sakti, ia tidak merasa takut kepada ikan
tapa raksasa tersebut. Khotib bahkan merasa tertantang untuk
menaklukkan ikan raksasa tersebut dan menyantap dagingnya.
Khotib meminta temannya yang mengendalikan perahu agar
menempatkan perahu tepat berada di atas tapa tersebut, karena ia
ingin menombak ikan besar tersebut. Dengan secepat kilat Khotib
menombak dan menusuk tepat di punggung Tapa raksasa itu. Tapa
Buntung tersebut lari sekencang-kencangnya karena menahan sakit,
sehingga Khotib ikut tercebur kedalam air dan diseret ikan Tapa kesana-
kemari. Khotib sengaja tidak melepaskan tali tombak yang terikat
ditangannya karena ia memang berniat ingin menyantap Tapa raksasa itu.
Selain itu, dengan manaklukkan Tapa raksasa tersebut ia telah memberi
rasa aman kepada penduduk Koto Pukatan yang hendak mencari ikan di
Sungai Kampar.
Telah berhari-hari Khotib diseret hilir-mudik oleh Tapa raksasa,
dan ikan tersebut telah merasa kelelahan. Karena tarikan Tapa tidak lagi
kuat, Khotib memiliki kesempatan untuk naik kepermukaan air untuk
melihat kemana ikan tersebut telah membawanya. Tidak lama kemudian,
tibalah mereka di sebuah lubuk yang dalam, dan di sana terdapat sebuah
batang kayu yang besar. Tapa raksasa tersebut beristirahat di dalam
rongga kayu tersebut. Karena merasa kelelahan setelah 12 hari diseret
Tapa,Khotib juga merasa lapar, maka ia memutuskan untuk meninggalkan
Tapa tersebut dan berenang menuju tepian. Ketika sampai di tepian
Khotib tidak mengetahui nama daerah dimana ia berada, yang jelas
baginya hari masih pagi karena matahari terlihat belum terlalu tinggi.
Khotib ingin segera mencari makan, namun ia malu karena ia sudah tidak
mengenakan sehelai kainpun. Dilihatnya sekeliling tak ada orang, ia pun
merangkak memasuki semak-semak di hulu tepian itu. Untuk menutupi
tubuhnya digunakan daun kayu yang agak lebardan diikatkan dengan akar
kepinggangnya, ia berharap ada orang yang mau meminjamkan kain.
Tidak lama kemudian, Khotib melihat seorang gadis turun ke
tepian hendak mencuci kain. Dengan suara yang serak Khotib memanggil
“Gadi, Gadi, Oiiiii Gadiiii[2]….!” Mendengar panggilan tersebut, sang gadis
mendekati semak-semak. Dari balik semak samar-samar terlihat
olehnya sosok manusia. Khotib memanggil kembali seraya mengacungkan
tangannya kepada perempuan tersebut “Oiii gadi, bulio pinjam kain
solai?” (bolehkah saya meminjam sehelai kain?). Melihat seorang pemuda
tanpa pakaian dan hanya dibalut dedaunan,perempuan tersebut sangat
ketakutan. Tanpa menghiraukan kain cuciannya gadis itu lari berteriak-
teriak ke atas tebing “Hantuuuuu, hantuuuuuuu ada hantu di tepian”
teriaknya. Kebetulan saat itu hulu balang sedang berada di sekitar tepian,
ia datang lalu bertanya apa yang terjadi. Gadis itu berkisah “begini tuanku,
sewaktu saya ingin mencuci di tepian sungai, tiba-tiba saya mendengar
orang memanggil-manggil. Setelah diamati ternyata suara itu berasal dari
semak di hulu tepian. Karena suaranya parau dan kurang jelas, maka saya
dekati semak tersebut, dan samar-samar saya melihat orang yang
kepala dan badannya dipenuhi lumut, pinggang hingga kaki ditutupi daun-
daun. Melihat sosok itu saya jadi ketakutan, saya menduga mahkluk itu
bukan manusia melainkan hantu. Sewaktu saya hendak pergi mahkluk itu
melambai-laimbai dan berseru minta kain. Karena semakin takut maka
saya lari kesini”.
Hulu balang berkata “ kalau begitu mari kita lihat kesana!”. “jangan
tuanku saya takut, panggillah bantuan tuanku” sahut perempuan itu.
“kalau begitu baiklah, saya beritahukan kepada baginda Raja Gunung
Sahilan agar baginda ikut menyaksikan serta dapat mengambil keputusan
mengenai hal ini” jawab hulu balang, dan iapun bergegas menuju istana.
Tidak lama kemudian Raja,hulubalang dan pembesar kerajaan Gunung
Sahilan lainnya diikuti oleh serombongan rakyat berbondong-bondong
menuju tepian sungai dimana mahkluk itu berada. Raja beserta robongan
kemudian tiba di tepian yang dimaksud. Baru saja hulu balang mendekati
semak tersebut, Khotib pun berkata “Tuanku tolong pinjamkan aku kain,
aku dalam keadaan telanjang”. “mahkluk itu bicara” ucap hulubalang. “apa
katanya” tanya baginda raja. “dia hendak meminjam kain, tuan ku”. “raja
memerintahkan hulubalang “coba selidiki, apakah dia manusia atau bukan”.
Mendengar pembicaraan itu, Khotib langsung menyahut “saya manusia,
tuanku”.
Sang Raja merangkul hulubalang agar mendekat kepadanya sambil
berbisik “mendengar ucapannya, mungkin ia manusia, tapi melihat
rupanya yang berlumut aku jadi ragu, mari kita lihat lebih dekat”. “jangan
mendekat tuanku, saya tidak berkain” cegah si Khotib. Khotib menunduk
malu sambil menutupi pangkal pahanya dengan kedua tangannya.
Hulubalang berkata kepada raja “tuanku, saya kira dia benar-benar
manusia”. “pendapatku juga demikian, baiklah berikan ia pakaian” perintah
sang raja. Tidak lama kemudian Datuk bendahara tiba di dekat raja sambil
berbisik kepada raja “tuanku, sebaiknya terlebih dahulu kita beri dia
pakaian, lalu baru kita beri dia pisang. Jika pisang itu langsung dimakannya
berarti dia orang hutan atau hantu, tetapi jika kulit pisang itu dikupasnya
4 belah, maka ia adalah orang yang beradat, sama seperti kita”. “itu cara
yang cerdik tuanku” sahut hulubalang. “kalau begitu coba Datuk
Bendahara berikan kain sarung dan baju kepada mahkluk itu” perintah raja.
Datuk bendahara kemudian memberikan kedua helai kain tersebut
kepada Khotib, sambil berkata “nah, pakailah pakaian ini”. Khotib
menerima kain tersebut dengan perlahan dipakainya kain sarung dan baju,
baru kemudian ia berani berdiri. Hulubalang maju beberapa langkah lalu
berkata “ makanlah pisang ini” sambil memberikan 2 buah pisang raja
setali. Khotib menyambut pisang pemberian hulubalang itu dengan
menggigil karena lapar. Khotib mengupas kulit pisang tersebut menjadi
empat bagian, lalu memakannya sepotong demi sepotong. Keempat
orang yang menyaksikan menjadi terheran-heran, dab timbul keyakinan di
dalam hati mereka bahwa Khotib benar-benar manusia yang beradat.
Raja kemudian kembali ke istana dan memerintahkan hulubalang
memeriksa Khotib di Balairung kerajaan.
Setibanya di istana Khotib menceritakan kisahnya “Tuanku, nama
saya Khotib, berasal dari dusun Ranah di negeri Koto Pukatan, karena
takdir tuhanlah saya sampai kedaerah ini”. “bagaimana kamu bisa sampai
di daerah Gunung Sahilan ini?” tanya hulubalang keheranan. “panjang
kisahnya tuanku, lagi pula tidak masuk diakal, mungkin tuanku tidak akan
percaya” jawab Khotib. “kalau begitu, hal ini perlu diketahui oleh raja,
mari kita menghadap raja” kata hulubalang. Setibanya di depan singgasana
hulubalang mengatur sembah “ampun patik tuanku, kalau digantung patik
tinggi, kalau dipancung patik mati, tuanku juga yang akan rugi”. Raja
menjawab “kabar apa yang hendak engkau sampaikan hulubalang?
katakanlah” titah baginda raja. “ampun tuanku, apa yang tuanku titahkan
kepada patik tadi telah patik laksanakan. Meskipun hanya sebagian kecil
kisah anak muda tadi yang patik dengarkan, tahulah patik bahwa ia adalah
pemuda yang baik budi. Karena kisahnya amatlah panjang, tentunya
memerlukan pemahaman yang mendalam, menurut hemat patik
sebaiknya baginda langsung mendengar dan memberikan pertimbangan”
hulubalang memberikan saran. “Kalau itu yang terbaik menurut mu,
baiklah, beta setuju. Bawalah anak itu ke sini” perintah sang raja.
Hulubalang dan Khotib datang sambil mengatur sembah di hadapan
raja. Raja mempersilahkan keduanya duduk dan bertitah “aku berkenan
mendengar kisah mu anak muda, mulailah, biar kami mendengarkan”.
Khotib menjawab “baiklah, titah tuanku patik junjung”. Khotib kemudian
menceritakan kisanya kepada raja bahwa ia berasal dari Koto Pukatan,
ayahnya adalah orang Aceh dan dikenal dengan nama Tuanku Syeh Aceh,
sedangkan ibunya asli keturunan Koto Pukatan. “ jadi negeri mu terletak
di pinggir Sungai Kampar kanan?” tanya raja. “benar tuanku” jawab
Khotib. “apakah di sini daerah Kampar Kiri?” balas Khotib bertanya. “ya
benar” jawab hulubalang. “bagaimana kisah mu hingga sampai ke sini”
tanya raja?. Khotib menceritakan kisahnya menangkap Tapa Buntung
raksasa, kemudian ia diseret ikan tersebut selama 12 hari melalui
terowongan air bawah tanah, dan akhirnya sampai di Gunung Sahilan.
Raja kemudian bertanya “dari lubuk ayiu lului, kamu ditarik Tapa Buntung
melalui terowongan bawah air selama 12 hari, dan sampai di sini, lantas
bagaimana kamu bisa bernafas?”. “ampun patik tuanku, bukan maksud
hati hendak berbangga diri, dari beberapa ilmu dunia yang patik pelajari,
ada salah satunya ilmu Piwang Ayiu. Dengan ridho Allah, jika kita
menyelam dengan ilmu itu, kita mampu bertahan di dalam air selama 40
hari tuanku” jawab Khotib. “jadi selama itu kamu tidak makan apa-apa?”
tanya raja lagi. “Khotib menjawab “boleh dikatakan tidak ada tuanku,
kecuali air, berkat pertolongan Allah SWT saya mampu bertahan”.
“hebat engkau Khotib, lengkap ilmu dunia dan akhirat mu” puji baginda
raja.
Raja memaklumi Khotib yang sudah letih bercerita, sedangkan ia
masih ingin mendengar kisah perjalanan Khotib dari Ayiu Lului ke Gunung
Sahilan, maka raja mengajak Khotib menyantap makanan dan minuman.
Setelah selesai bersantap dan sejenak melepas lelah, atas permintaan
raja dan hulubalang, Khotibpun melanjutkan ceritanya. “Barangkali tuanku
dan hulubalang ingin mengetahui mengapa hampir dua minggu saya di dalam
air baru muncul di Kampar Kiri, sedangkan melalui jalan darat hanya
memakan waktu selama dua hari, bukan begitu tua ku?” tanya Khotib.
“ya, malah bunyi meriam di Limo Koto terdengar sampai kesini” jawab
sang raja. Khotib melanjutkan ceritanya. “Jika jalannya lurus dan tidak ada
penghalang, mungkin tidak akan terasa jauh dan dapat ditempuh dalam
waktu singkat, tetapi terowongan yang saya lewati bersama Tapa
Buntung Raksasa itu berkelok-kelok, kadang arah ke hulu dan kadang arah
ke hilir. Ada bagian yang lapang, tetapi banyak bagian yang sempit.
Ditambah pula si Ikan Tapa itu berenang tidak pilih jalan, malah ia suka
mencari tempat yang sulit untuk dilalui. Sering tali tombak saya
tersangkut pada batang kayu, atau batu runcing yang ada di dalam
terowongan itu. Tidak hanya itu, di sana juga banyak terdapat binatang
buas seperti ular dan buaya, menambah lama perjalanan saya”.
“lalu dimana Tapa Buntung itu sekarang?” tanya raja kepada
Khotib. “Tapa Buntung itu terus memasuki lubuk, sembunyi di bawah
batang kayu yang dipenuhi duri. Karena merasa sangat lelah, saya
membuka ikatan tali tombak di pergelangan tangan saya dan
mengikatkannya pada salah satu akar kayu besar itu. Sayapun berenang
ke tepian, karena seluruh pakaian saya sudah hancur karena diseret
Tapa, maka saat naik ke darat saya tidak berkain, hingga akhirnya
bertemu dengan baginda” jawab Khotib. “sungguh kisah mengagumkan
dan merupakan pengalaman yang sangat berharga. Hanya orang-orang
yang bercita-cita mulia, istiqomah dan memiliki kesaktian luar biasa yang
mampu melalui perjalanan tersebut”, puji sang raja sekaligus menutup
perbincangan itu.
Sesaat kemudian, terdengar suara hingar bingar diselingi alunan
suara gong di luar istana. Khotib merasa penasaran, dan bertanya kepada
hulubalang. “ampun tuanku, bolehkah hamba tahu apa yang terjadi di luar
sana?”. Hulubalang menjawab, “beberapa minggu yang lalu ada seseorang
mendapatkan barang aneh. Tidak ada seorangpun yang mengetahui nama
dan kegunaan barang itu. Karenanya, pihak istana mengadakan
sayembara, bagi siapa yang dapat mengetahui nama dan guna barang itu,
baginda raja akan memberikan hadiah yang besar”. Raja menambahkan
“maksud beta, bagi siapa saja yang berhasil menyebutkan nama serta
kegunaan benda tersebut, kepadanya akan dianugerahkan beberapa
hadiah berupa benda berharga, pangkat dan fasilitas yang mewah. Jika
berminat, kamu juga boleh mengikuti sayembara tersebut”, raja
menawarkan kepada Khotib. “ampun patik tuanku, bolehkah patik
melihat benda itu?” tanya Khotib penasaran. “bagaimana pendapatmu
Hulubalang?” tanya sang raja. Hulubalang menjawab “ampun
tuanku,menurut hemat patik, memang sebaiknya begitu. Jika Khotib
mampu menerka nanti secara resmi dilakukan di depan khalayak ramai”.
Kemudian raja menyuruh hulubalang untuk mengambil benda yang
dimaksud. Setelah kembali, hulubalang memperlihatkan benda aneh
tersebut di hadapan Khotib. Benda aneh itu dibungkus tiga lapis dan diikat
dengan benang bencono. Ketika Khotib melihatnya, ia tersenyum dan
berkata “oooh, saya tahu nama dan kegunaan benda ini baginda”, ucap
Khotib. “Kamu tahu nama dan kegunaannya?, kalau begitu coba
sebutkan”, titak raja.
“Ampun tuanku, benda ini umum dipakai petani di daerah Limo
Koto, namanya sangkal bajak[3]. Alat ini ditarik oleh satu atau dua ekor
kerbau untuk mencangkul sawah”. Mendengar penjelasan Khotib raja
berkata “astagfirullah….,hampir saja kita melakukan hal yang tidak patut,
untunglah ada Khotib yang mengetauinya. Atas keterangan yang diberikan
Khotib, raja merasa yakin bahwa nama benda aneh tersebut adalah
sangkal bajak dan digunakan untuk membajak tanah. Setelah berfikir
sejenak, raja kemudian berkata “sekarang waktunya untuk mulai
sayembara”. Hingar-bingar di luar istana semakin jelas terdengar. Musik
gong dan calempong semakin lantang, bunyi tabuh pun bertalu-talu
pertanda sayembara akan dimulai.
Dalam pada itu Datuk bendahara datang menghadap raja, dan
melaporkan bahwa seluruh rakyat kerajaan Gunung Sahilan telah
berkumpul untuk menyaksikan perhelatan besar yang akan dilangsungkan
selama tujuh hari tujuh malam, dengan menyembelih seekor kerbau.
Setelah Datuk Bendahara selesai menyampaikan laporannya, baginda raja
memerintahkan hulubalang untuk mempersiapkan segala keperluan
sayembara tersebut. Sebelum raja pergi untuk melangsungkan
pembukaan sayembara tersebut ia berpesan kepada Khotib “nanti
sesudah pembukaan sayembara beta lakukan, semua rakyat
dipersilahkan untuk menjelaskan nama dan kegunaan benda itu, beta yakin
tidak seorangpun yang akan tahu. Namun biarkanlah dulu beberapa orang
memberikan jawaban mereka, setelah beberapa lama berselang dan
tidak ada lagi yang akan tampil memberikan jawaban, barulah kamu tampil
ke hadapan khalayak dengan jawaban yang paling sempurna, dan kamulah
yang menjadi pemenang sayembara besar ini, sehingga sayembara ini
tidak kelihatan enteng. Pahamkah kamu maksud beta?” tanya sang raja
kepada Khotib.
Khotib menjawab “hamba maklum tuanku, hamba akan berupaya
memenuhi segala sesuatu yan tuanku titahkan”. Setelah baginda raja dan
Khotib selesai mengenakan pakaian, hulubalangpun datang menjemput.
Baginda raja diiringi Permaisuri, Khotib dan pembesar kerajaan berjalan
menuju balairung dimana rakyat telah berkumpul. Kedatangan raja
disambut meriah oleh para hadirin. Lelo[4] dibunyikan sebanyak tiga kali
sebagai pertanda pembukaan sayembara telah dimulai. Dalam pidato
pembukaan, baginda raja sengaja memperkenalkan Khotib kepada
seluruh pembesar kerajaan, para undangan dan seluruh rakyat. Raja
mengatakan bahwa Khotib adalah tamu kerajaan, karenanya ia berhak
mengikuti sayembara tersebut.
Sayembara segera berlangsung, beberapa peserta telah tampil
dan memberikan jawabannya. Diantara mereka ada yang mengatakan
nama benda itu sejenis beliung, ada yang mengatakan sabit, senjata
untuk berburu, alat pengupas kelapa dan lain-lain. Baginda raja yang
bertindak sebagai hakim menyatakan bahwa jawaban para peserta
belum ada yang sempurna. Sesuai dengan rencana semula, maka untuk
giliran terakhir tampillah Khotib yang dengan lancar menjelaskan perihal
benda tersebut. Khotib malah menambahkan kemungkinan benda
tersebut dihanyutkan dari daerahnya Ayiu Lului Kampar, melewati
terowongan bawah air hingga sampai di Gunung Sahilan.
Semua yang hadir dapat menerima jawaban Khotib, dan dengan
demikian Khotib keluar sebagai pemenang sayembara. Sesuai dengan
perjanjian, baginda raja mengumumkan hadiah yang akan dianugerahkan
kepada pemenang. Kepada Khotib dianugerahi gelar Panglima kerajaan,
diberi tanah ulayat yang luas dan dicarikan calon isteri yang sepadan.
Hadiah yang diberikan oleh raja ditolak oleh Khotib, kecuali gelar
kebesaran “Panglima”. Khotib menolak jabatan, harta dan pendamping
hidup yang diberikan raja, karena ia tidak ingin lama tinggal di Gunung
Sahilan, dan ingin segera kembali ke Koto Pukatan. Khotib teringat
kepada orang tuanya yang mungkin menggap Khotib telah meninggal dunia
ketika ia dilarikan ikan Tapa Buntung itu.
Baginda raja menghendaki supaya Khotib tetap tinggal di Gunung
Sahilan selama 70 hari karena masih banyak yang perlu dikerjakannya.
Setelah mempertimbangkan kepentingan raja yang baik itu, maka Khotib
menyetujui untuk tinggal selama 70 hari. Raja sangat bersuka cita,
sehingga baginda mengadakan upacara pulang sanak[5] untuk Khotib
yang berlangsung selama 7 malam berturut turut. Selesai 70 hari,
tibalah waktunya bagi Khotib untuk pulang ke kampungnya. Dengan berat
hati rajapun melepas kepergian Khotib pulang ke Koto Pukatan. Untuk
kepulangan Khotib, pihak kerajaan telah mempersiapkan sebuah perahu
yang cukup besar dengan ukiran yang indah. Setelah bermaaf-maafan
Khotibpun mulai berlayar meninggalkan Gunung Sahilan diiringi beberapa
perahu kerajaan. Lelo dibunyikan tujuh kali melepas kepergian Khotib.
Setelah 6 hari menyusuri Sungai Kampar tibalah Khotib di
kampungnya Koto Pukatan. Di tepian sungai Khotib melihat banyak
perempuan yang sibuk bekerja. Sebagian mengupas dan mencincang
cempedak muda, sebagian lagi membersihkan ayam dan ikan yang telah
dipotong. Khotib yang telah bergelar panglima itu merasa penasaran, lalu
ia menegur perempuan-perempuan tersebut dengan bertanya
“sepertinya masyarakat desa ini akan melakukan kenduri besar?”. Salah
seorang dari mereka menjawab “benar Tuk, kami akan mengadakan
perhelatan besar”. “perhelatan untuk apa?” tanya Panglima Khotib.
Mereka menjawab “kami hendak mengadakan upacara peringatan
seratus hari meninggalnya pemuda desa sini”. Panglima Khotib termenung
sejenak, lalu ia bertanya kembali “apa penyebab kematiannya?”.
Perempuan itu menjawab “dia dilarikan Ikan Tapa Buntung”. Panglima
Khotib berkata “oh begitu, apakah pemuda itu bernama Khotib?”
Semua perempuan yang bekerja di tepian sungai tersebut terkejut
mendengar nama pertanyaan Khotib. “dari mana orang asing ini
mengetahui nama si Khotib” pikir mereka. Paglima Khotib kemudian
mengatakan bahwa dirinya adalah pemuda yang disangka telah meninggal
sejak seratus hari yang lalu. Perempuan-perempuan itu terkejut dan
mengamati Panglima Khotib dengan seksama. Salah satu dari mereka
kemudian berkata “iko ocu Khotib go, indak tio mati ocu do? Syukur
Alhamdulillah (apakah anda ini bang Khotib, berarti bang Khotib tidak
meninggal)”. Panglima Khotib kemudian berjalan kerumahnya meninggalkan
perempuan-perempuan itu dalam kebingungan.
Dari kejauhan Panglima Khotib dapat mendengar suara gaduh dari
rumahnya. Anggota keluarganya telah mendapat kabar bahwa ia masih
hidup dan sedang berada di tepian. Sesampainya di halaman rumah,
Panglima Khotib bergegas naik ke rumah sambil mengucapkan salam.
“Assalamualaikum” ucapnya. “waalaikumsalam” jawab orang seisi rumah.
Melihat Panglima Khotib, seluruh keluarga segera menghampirinya,
tangisan dan ratapan semakin menjadi-jadi. Untuk mengatasi situasi yang
demikian, Panglima Khotib berkata “Bapak, Ibu, sanak saudara sekalian
harap tenang dan jangan meratap lagi. Syukur Alhamdulilah saya telah
kembali, memang benar pepatah orang tua-tua : indak gowuo
bapantang luko, indak ajal bapantang mati (kalau tidak ada sebab tidak
akan luka, kalau tidak ajal tidak akan mati).
Sekonyong-konyong nenek Panglima Khotib mendekat dan
menepuk bahu Panglima Khotib, dengan suara keras ia berkata “itu lah
cu….. bukankah nenek tidak menyuruh kamu menombak Tapa Buntung?
Akhirnya kami kehilangan kamu seratus hari, kami kira kamu sudah mati,
inilah upacara seratus hari kematian mu, orang kampung sudah diundang
untuk datang malam ini". Panglima Khotib segera memegang tangan
neneknya yang mulai ingin meratap, dan berkata “sabar nek, coba nenek
denarkan cerita saya,hal ini terjadi bukan karena salah siapa-siapa, ini
terjadi karena memang sudah suratan hidup saya nek. Peristiwa ini adalah
takdir Allah, kita hanya menjalani saja. Kita harus bersyukur saya masih
diselamatkan Allah yang maha pengasih dan penyayang. Karena kenduri
seratus hari ini sudah terlanjur dilaksanakan, maka sebaiknya kita ganti
dengan doa selamat atas kepulangan saya ke Koto Pukatan”. “lalu
bagaimana cara kita memberitahukan hal ini kepada para undangan?”
sahut anggota keluarganya yang lain. “masalah itu tidak usah dirisaukan,
orang kampung tentu ingin mengetahui perihal kisah hilangnya saya
selama seratus hari, oleh karena itu, nanti malam setelah semua
undangan hadir, saya sendiri yang akan mengumumkan bahwa acara ini
telah berubah menjadi doa selamat atas kepulangan saya” jawab
Panglima Khotib.
Setelah selesai sholat magrib, orangpun berdatangan ke rumah
Panglima Khotib. Sebelum upacara peringatan seratus hari kematiannya
dilangsungkan, Panglima Khotib memberikan kata sambutan. Ia
menceritakan bagaimana ia diseret Ikan Tapa Buntung hingga sampai ke
Gunung Sahilan, mengikuti dan memenangkan sayembara di sana, ia
menerima gelar panglima dan menolaksemua hadiah lainnya dan proses
kembali ke Koto Pukatan. Sebelum mengakhiri sambutannya Panglima
Khotib menjelaskan tentang keadaan ayiu lului yang sebenarnya
merupakan jalan tembus menuju Sungai Kampar Kiri. Panglima Khotib
juga mengatakan bahwa tidak hanya dirinya, tetapi sebuah mata bajak
dari Koto Pukatan juga pernah ditemukan orang di sungai Kampar Kiri,
dan diperkirakan Panglima Khotib, mata bajak tersebut terseret arus
terowongan bawah air di Aiu Lului.
Sejak peristiwa yang menakjubkan itu, daerah Koto Pukatan
tempat terdapatnya ayiu lului perlahan-lahan dikenal orang dengan nama
air tiris.
[1] Lului / tighi berarti tembus/merembes
[2] Gadi : adalah panggilan untuk seorang Gadis dalam bahasa Ocu.
[3] Sangkal bajak = mata bajak
[4] Lelo = meriam dari bambu
[5] Pulang sanak = tradisi mengangkat saudara yang berlaku dalam
masyarakat Kampar.

0 komentar:

Posting Komentar